Jakarta (NUSWANTARA) – Pakar Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menyebut penurunan muka tanah (land subsidence) masih menjadi penyebab dominan banjir rob di Semarang dan sekitarnya.
Dia mengungkapkan penurunan muka tanah di daerah tersebut masih sangat besar. “Ada yang [penurunan tanahnya] 10 cm, ada yang 20 cm. Kalau mau diambil rata-ratanya ya 10 cm per tahun,” kata Heri saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (24/5).
Menurutnya, angka penurunan muka tanah itu makin memperparah banjir rob di Semarang dan sekitarnya. Heri mengungkapkan tingkat penurunan muka tanah yang besar itu tak lepas dari eksploitasi air tanah yang tinggi.
Lebih lanjut, Heri menilai banjir rob merupakan isu yang tergolong baru. Pasalnya pada tahun 1960-an hingga awal 1990-an banjir rob belum menjadi masalah.
“Sebenarnya kalau kita tarik ke belakang. Kita ekstrapolasi dari data-data penelitian, di tahun 70, 80 bahkan awal 90an itu banjir rob belum ada,” katanya.
“Semenjak terjadinya pembangunan yang masif, pembangunan penduduk, ekspolitasi air tanah, mulailah terjadi penurunan tanah, terus berlangsung akhirnya mucul banjir rob menjadi isu cukup besar,” Heri menambahkan.
Seperti diketahui, banjir rob melanda daerah sekitar pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah pada Senin (23/5) siang. Tanggul yang jebol pun membuat banjir semakin parah di daerah itu.
Akibatnya, aktiviats karyawan di sekitar pelabuhan terpaksa dihentikan. Sekitar 8 ribu kepala keluarga pun terdampak banjir rob.
Tak hanya Semarang, daerah sekitarnya seperti Demak dan Pekalongan juga terkena banjir rob. “Banjir rob terjadi ketika air laut pasang. Ketika pasang, di situ land subsidencenya tinggi, jadilah banjir robnya parah,” kata Heri.
Solusi Sekadarnya
Heri, yang pernah meneliti penurunan muka tanah di Semarang pada 2016, menambahkan pembangunan atau peninggian tanggul sejatinya bukan solusi yang tepat. Menurutnya, yang terpenting adalah mengendalikan penurunan permukaan tanah.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah mengendalikan eksploitasi air tanah. Namun hal itu akan menimbulkan masalah baru yakni suplai air.
Beragam masalah itulah yang sayangnya menurut Heri belum bisa dikendalikan pemerintah. “Suplai air di kita masih menjadi masalah di mana solusinya adalah eksploitasi. Akhirnya solusi itu menimbulkan masalah baru,” katanya.
“Kalau airnya dikendalikan suplai air menjadi masalah. Kalau tidak, penurunan muka tanah terjadi. Jadi kita belum mampu menangani multiple problem itu,” ujar Heri mengakhiri. (cnnindonesia)