Denpasar (Nuswantara) – Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati berkesempatan untuk memberikan closing statement pada Seminar Literasi Ecotourism Dalam Rangka Memperingati Hari World Book and Copyright Day Tahun 2023, yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia, bertempat di Graha Tirta Gangga, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, pada Kamis (11/5).
Dalam clossing statement-nya Wagub Cok Ace menyampaikan, dalam membahas isu ecotourism maka di dalamnya akan terdapat sustainable tourism dan political tourism. Namun jika berbicara tentang pariwisata berkelanjutan khususnya Bali, maka harus didefinisikan secara khusus sesuai dengan karakter yang dimiliki Bali sendiri. “Bali tidak sama dengan negara-negara lainnya seperti Singapora, karena mereka menjaga keberlanjutannya dengan cara pembaruan teknologi, sedangkan Bali memiliki karakter yang unik. Bali memiliki definisi sendiri terkait pariwisata yang berkelanjutan,” ujar Wagub Cok Ace.
Untuk itu, Wagub Cok Ace mendefinisikan pariwisata yang berkelanjutan di Bali harus dilihat dari berbagai aspek. Salah satunya adalah tidak mendegradasikan sumber daya Bali, sumber daya manusia dan alam Bali. Ini bukan berarti Bali antiperubahan, karena Bali tidak bisa berdiri tanpa teori perubahan. Namun dengan adanya perubahan, maka intisari dari pariwisata berkelanjutan harus dipertahankan.
Wagub Cok Ace mengatakan, visi pembangunan Bali, yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali digali dari salah satu teks kesusasteraan, yakni Purana Bali. “Dalam teks ini dinyatakan bahwa seorang pemimpin dan rakyatnya harus mampu mewujudkan Sad Kertih atau enam sumber kesejahteraan. Keenam sumber kesejahteraan dimaksud terdiri atas Atma Kertih, Jana Kertih, Jagat Kertih, Wana Kertih, Samudera Kertih, dan Danu Kertih. Keenam aspek ini sesungguhnya merupakan implementasi nyata Tri Hita Karana dalam konteks pembangunan dengan mengedepankan aspek religius, sosial budaya, dan lingkungan secara holistik,” jelas Wagub Cok Ace.
Di samping itu, tokoh Puri Ubud ini juga mengatakan, masyarakat Bali dari dulu hingga sekarang selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lingkungan, atau Tri Hita Karana. “Tri Hita Karana merupakan kristalisasi ajaran Hinduisme dan kearifan lokal Bali yang kemudian ditransformasikan menjadi basis kebudayaan Bali. Nilai kebajikan ini menegaskan pandangan holisme masyarakat Bali dalam memahami realitas dunia dan kehidupan,” ungkapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Guru Besar ISI Denpasar ini juga mengatakan, pembangunan yang hanya berorientasi pada kemajuan material tentu tidak sejalan dengan kebijaksanaan timur yang mengedepankan kesimbangan material dan spiritual. Selain itu, pembangunan yang berorientasi material juga berpotensi menciptakan kondisi disharmoni pada berbagai aspek kehidupan.
“Oleh karena itu, transformasi kebudayaan dalam pembangunan harus terus dilakukan dapat merajut serat budaya dan tata nilai baru yang selaras dengan harapan serta tujuan ideal masyarakat. Fenomena ini menjadi momentum refleksivitas untuk melihat kembali pembangunan pada dunia-dunia Timur dengan kebijaksanaan kulturalnya masing-masing,” jelasnya.
Dengan kekuatan kultural ini, ia berpendapat bahwa masyarakat di dunia Timur akan mampu mengikuti kecenderungan gerak pembangunan global yang mengarah pada Sustainable Development Goals (SDGs). Perubahan mendasar dalam paradigma SDGs adalah prinsip ‘tidak seorang pun yang ditinggalkan’, yakni kesetaraan antarnegara dan antarwarga negara yang mencakup empat pilar pembangunan, yakni (1) pembangunan manusia, (2) pembangunan ekonomi, (3) pembangunan lingkungan hidup; dan (4) tata kelola pemerintahan.
Untuk ke depannya, pariwisata berkelanjutan perlu dilakukan sesuai dengan penataan berdasarkan karakteristik wilayahnya. Bukan semata-mata meng-copy paste pengembangan pariwisata yang sudah ada di Bali Selatan. Semisal wilayah Bali Timur yang cocok dengan Ista Dewatanya adalah pengembangan spiritual tourism atau bersifat religi/keagamaan. Untuk wilayah Bali Barat yang dikuasai oleh kemahakuasaan Dewa Baruna. Secara etimologis letak wilayah barat sangat sesuai untuk mengembangkan perikanan.
Sementara wilayah Bali Utara yang dikuasai oleh kemahakuasaan Dewa Wisnu sebagai lambang dari kemakmuran/kesejahteraan dan sangat sesuai untuk mengembangkan hasil pertanian dan kebutuhan hidup seperti padi, sayur mayur dan berbagai jenis bumbu dapur.
Sementara untuk Bali bagian Tengah dikuasai oleh kekuatan Dewa Siwa. Di wilayah yang sarat dengan pengembangan wisata sejarah, warisan budaya dan seni ini memberikan nuansa berbeda bagi wisatawan yang datang. Karena wilayah Bali Tengah yang kita ketahui adalah berkedudukan di Kabupaten Gianyar akan menyiapkan sejumlah daerah wisata yang memiliki daya tarik alam hijau dan natural, menawarkan kerajinan seni hasil dari kreativitas tangan masyarakat lokalnya,” pungkasnya seraya menutup acara tersebut.
Dalam acara yang dihadiri oleh Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho, juga menghadirkan 4 narasumber yang sebelumnya telah memaparkan materi. Narasumber tersebut adalah Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali GA Diah, mantan Duta Besar RI Tantowi Yahya, Founder Eco Tourism Bali Suzy Hutomo, dan akademisi I Nyoman Sunarta. (dea)