Jakarta (NUSWANTARA) – Politikus Rieke Diah Pitaloka dalam disertasinya mengkritik pemerintah soal data dalam hal desa. Dalam keterangannya, Rieke menyebut data yang direproduksi pemerintah tidak aktual.
Penelitian Rieke menunjukkan data yang direproduksi negara tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik. Akibatnya, data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi, dan divalidasi.
“Hal tersebut menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat dan relevan (pseudo data),” ujar Rieke dalam sebuah keterangan, Rabu (25/5).
Rieke pun menyebut pemerintah telah menggunakan pseudo data sebagai landasan kebijakan soal desa. Hal itu dinilai dapat berdampak pada marginalisasi berkesinambungan negara.
“Inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik negara, kekerasan yang beroperasi dengan cara mengatur, memaksakan, bahkan bisa saja merekayasa pendataan dan data perdesaan,” kata Rieke.
Dia menegaskan ketika pseudo data dijadikan basis kebijakan publik, maka dampaknya adalah marginalisasi berkesinambungan oleh negara.
Politikus perempuan itu baru saja menjalani sidang promosi doktor Ilmu Komunikasi FISIP UI pada Rabu (25/5). Dalam sidang tersebut, Rieke dinobatkan sebagai Doktor Ilmu Komunikasi tercepat FISIP UI dengan masa studi ditempuh dalam waktu 2 tahun 8 bulan 2 hari.
Rieke merupakan Doktor Bidang Ilmu Komunikasi FISIP UI ke-124 sekaligus doktor perempuan ke-63.
Dalam disertasinya yang berjudul “Kebijakan Rekolonialisasi: Kekerasan Simbolik Negara Melalui Pendataan Perdesaan,” Rieke membahas deskripsi, analisis dan interpretasi atas perbandingan dua jenis data, yakni data perdesaan yang direproduksi institusi negara dengan pendekatan top down dan data yang diproduksi warga dengan pendekatan bottom up.
Meski mengkritik penggunaaan data tersebut, Rieke menilai, data itu memiliki legalitas sebagai basis data kebijakan pembangunan, karena prosesnya berpedoman pada pertauran perundang-undangan.
Penelitian Rieke membongkar “kekerasan negara” dalam bentuk data yang tidak menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil warga serta potensi riil pedesaan.
Praktik seperti ini menurutnya dapat mengakibatkan monopoli sumber daya publik berada di tangan birokrasi dan atau korporasi. Selain itu, ruang komunikasi dan partisipasi masyarakat tertutup atas nama teknokrasi yang legal.
Rieke meraih gelar tersebut dengan dipromotori Dr. Hendriyan serta kopromotor Dr. Eriyanto dan Dr. J. Haryatmoko. Sementara, duduk sebagai Ketua Sidang ada Prof. Semiarto Aji Purwanto dengan penguji Yanuar Nugroho, Sofyan Sjaf, Arie Sujito, dan Endah Triastuti.
Jejak Urusan Desa di Pemerintahan
Diketahui sejak kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2001, masalah desa diurus kementerian khusus. Berdasarkan data resmi, saat itu kementerian khusus tersebyt bernama Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
Namun, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 namanya kemudian diganti menjadi Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan kemudian menjadi Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal.
Sedangkan di masa Presiden Joko Widodo pada 2014 lalu, namanya adalah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Salah satu terobosan yang digelar Presiden Jokowi adalah mengaktifkan kembali BUMDes.
Pada akhir 2019 lalu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mengatakan siap melakukan suntikan modal Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah tidak aktif beroperasi demi revitalisasi. Tak cuma itu, ia juga mewacanakan untuk membentuk super holding.
Tercatat sekitar 2.188 unit BUMDes sudah tidak aktif beroperasi lagi pada tahun ini.
“Kami tidak bisa menutupnya. Yang bisa adalah memfasilitasi dan merevitalisasi. Revitalisasi berupa penambahan modal, peningkatan jaringan, pendampingan. Kalau perlu dibikin holding dan super holding,” ujarnya, Rabu (11/12).
Abdul menjelaskan revitalisasi akan dimulai dengan mendata dan memetakan ulang seluruh unit BUMDes yang sudah terlanjur dibentuk. Misalnya, mana unit yang masih produktif, kurang, dan tidak produktif lagi.(cnnindonesia)